“Dia,
ya senyumnya begitu indah,”
“Ha?
Senyum?”
“Ya,
senyum yang kucari selama ini. Senyuman seorang lelaki berlesung pipit,”
***
Pukul 10.00 WIB
Aku mengendap-endap di balik rimbunan belukar yang menghalangi
pandanganku. Menghalau ilalang yang tumbuh setinggi lutut. Langkahku terhenti
sejenak, menatap seorang lelaki yang tengah duduk sendiri di rerumputan dengan
buku di tangannya
Aku menghempaskan tubuhku di balik rimbunan belukar, duduk
termenung, memandang lelaki itu, seperti yang sudah kulakukan sejak sepuluh hari
silam.
Aku
mengaguminya semenjak kutahu dia mempunyai lesung pipit di kedua pipinya.
Menurutku itu unik, karena jarang sekali seorang lelaki itu berlesung pipit.
“Dia, ya senyumnya begitu indah,” kataku bergeming lirih,
menatap lelaki itu tanpa berkedip sedetikpun.
“Ha? Senyum?”
“Ya, senyum yang kucari selama ini. Senyuman seorang
lelaki berlesung pipit.” Aku masih
menatap lekat lelaki itu, tanpa terusik suara yang menyahut secara
tiba-tiba—lebih tepatnya tak sadar kalau sudah ada orang yang berada di
dekatku.
Seratus
hari lagi, ya seratus hari lagi aku masih bisa menatap raut mukanya yang tampak
serius; lesung pipitnya; dan
senyumannya, sebelum dia bergelar alumni dari SMA ini.
Seratus
hari lagi untuk bisa mengaguminya dalam diam.
“Mei,” bahuku di tepuk pelan oleh seseorang
yang berada di sampingku.
“Kay, “ aku menoleh ke arah orang itu.
Kayla—sahabatku, dia masih terpaku memandang lelaki berlesung pipit itu, dan
bergantian memandangku berkali-kali, tak henti.
“Dia…, dia lelaki berlesung pipit itu, Mei,”
Kayla mengoncangkan tubuhku cepat. Menanti jawaban dari kedua bibirku. Mungkin
dia tak percaya aku mengagumi seorang lelaki, karna kenyataanya memang aku
selalu bersikap acuh tak acuh terhadap makhluk berjenis kaum adam.
“Mungkin,” mataku berbinar bening beradu
dengan mata biru Kayla. Lalu secercah senyuman terlukis di bibirku.
“Mei…
kamu benar mengaguminya?” selidik Kayla, sambil menatapku masih tak percaya.
Mata birunya menatap lelaki itu, terlihat dahinya berkerut. Entah, kalau
gelagat Kayla seperti ini pasti ada sesuatu yang aku tak mengetahui tentang
lelaki yang kukagumi itu.
Aku
kembali jengah tingkah Kayla. Aku mengagumi lelaki berlesung pipit itu, tapi
tidak untuk mengenalinya. Mengagumi dalam diam, dan mengamatinya dalam
kesendirian.
“Bukankah
dia …,” suara Kayla terdengar samar, dan aku tak terlalu mendengar apa
maksudnya.
“Mei,
sebaiknya kamu ke sana.” Katanya lagi, dan tanpa persetujuan, Kayla mendorongku
keluar dari persembunyianku, dan aku berada tepat di depan lelaki itu.
***
“Mei,”
Aku menyodorkan tangan tepat di depan wajahnya.
“Eh,
kenapa?” katanya, terusik dan menatapku heran.
“Itu
namaku,”
“Oh,
oke.”
Aku
menelan ludah, memandangnya yang masih berkutat dengan buku yang sedang dipegangnya.
“Mei
baik-baik saja, oke,” kataku dalam hati, menyemangati diri sendiri.
“Maaf menganggu,” ucapku lagi, lalu segera menyingkir
dari hadapannya.
Aku
memang pernah melakukan penolakan pada beberapa lelaki yang menyatakan perasaan
cinta kepadaku. Baru kali ini aku merasakan apa itu penolakan—walaupun hanya
sekedar perkenalan. Dan …, itu rasanya cukup menyakitkan.
Aku
berbalik menuju tempat persembunyianku lagi. Aku cukup bahagia jika hanya
mengenalnya dalam diam, tanpa pernah mengenalnya, jika perkenalanku dengannya kali
ini diawali dengan cukup menyakitkan.
“Hei,”
panggil lelaki itu, keras. Sontak aku kembali menoleh kepadanya.
“Aqif
… Aqif Rahman, itu namaku,” katanya masih tak beranjak dari tempatnya duduk.
“Ha?”
“Iya,
itu namaku. Salam kenal, mm …,” dia terlihat mengernyitkan dahi, seperti
mengingat sesuatu, “Mei,” lanjutnya, mengejutkanku.
Aku
hanya tersenyum kecil, menunduk malu. Penolakan perkenalan itu hanya berlaku
sekejap saja, namun rasanya sungguh mengena dan menyakitkan. Namun, sekarang sudah tergantikan dengan yang lebih
baik lagi.
“Maaf
ya,” katanya, menatapku lembut sambil memperlihatkan lesung pipitnya
“Eh,
baiklah.” Balasku, tersenyum balik ke arahnya, dan berbalik beranjak pergi.
***
Sudah
tiga hari aku mengamatinya, seperti biasa di balik rimbunan belukar yang sudah
kunyatakan sebagai tempat persembunyian. Walau aku sudah mengenalnya resmi,
tapi aku tak ingin mengusik ketenangannya.
Mengagumi
dalam diam, aku lebih suka itu.
***
“Mei,
dia begitu manis. Mungkin karena lesung pipitnya,” Kayla tiba-tiba bergeming
tak jelas di sampingku.
“Kamu juga mengagumi dirinya, Kay,” pancingku,
mendelik kearahnya mungkin Kayla juga mengagumi lelaki berlesung pipit itu. Ah,
ada perasaan kelu dan pilu tertancap tepat di ulu hati.
Dalam
keriuhan kantin pada jam sepulang sekolah ini, agaknya suasana memang agak
terganggu. Tiba-tiba Kayla menatap mataku dalam, mencari sesuatu yang tulus di
balik binar mataku. Entahlah, mungkin mencari ketulusan.
“Mei,
kamu mengaguminya, aku tak mungkin mengaguminya juga,” ucapnya tersenyum tulus.
“Eh,”
“Dan
lelaki yang pantas di kagumi kan bukan dia aja,” katanya lagi, sambil mencubit
pipiku gemas.
Ah,
Kayla semoga saja kau memang benar sahabatku yang takkan mengagumi lelaki itu
jua.
***
Jadwal
jam istirahatku akhir-akhir ini padat. Bukan karena aktivitas sekolah, seperti
kumpul organisasi atau apalah, tapi aku lebih menyukai duduk sendirian di balik
semak-semak, mengamati lelaki berlesung pipit.
Belum
sempat semenit aku menghempaskan tubuhku di rerumputan, seketika dadaku bergemuruh,
menatap lelaki itu lagi. Mungkin penglihatanku salah.
“Kayla,”
Aku
terhenyak kaget, di sampingnya terlihat Kayla dan lelaki berlesung pipit itu
saling bercengkerama mesra.
Entah, aku memastikan kalau dulu itu bukan
sahabatku yang mengatakan tak akan mengagumi lelaki berlesung pipit itu, dan bodohnya
aku mempercayainya.
“Ya,
benar itu Kayla.” Aku meyakinkan pandanganku.
Rambutnya
yang tergerai lurus dengan suara lembutnya, diikuti derai tawa yang beruntun
dari keduanya. Ah, terihat mesra sekali. Dan kupandang balik lelaki itu,
terlihat rona bahagia terpancar dari raut mukanya, senyuman dan lesung pipitnya
pun selalu terlihat jelas, sekaligus memandang Kayla penuh semringah.
Kamu
baik-baik saja, tenangkan hatimu Mei. Dia hanya lelaki yang kau kagumi, tak
lebih. Dan dia menganggapmu seorang gadis biasa yang hanya ingin sekedar
berkenalan. Tenanglah, dia bukan siapa-siapa. Kayla—sahabatmu—lebih baik jika
bersanding dengannya bukan kau—Mei.
Aku
terisak dalam hati, mencoba melepaskan semua sendiri. Sakit, memang rasanya
sakit. Ah …, entahlah, suara isak tangisku lambat laun mulai terdengar lirih,
entah kenapa lambat laun dadaku nyeri. Terasa semakin tercabik sakit di ulu
hati.
“Mei,”
tiba-tiba suara lembut menepuk bahuku pelan. Aku mengenalnya, mungkin dia
terusik oleh suara isak tangisku
“Maaf
menganggu,” kataku, mendongakkan kepala. Dan memang benar itu Kayla, aku
melengos pergi dari hadapannya tanpa sepatah kata apapun.
***
Aku
tak mempercayai lagi yang namanya sahabat, dan aku muak degan hal itu. ternyata
dia balik menikamku dari belakang, ah. Terimakasih lelaki berlesung pipit,
disaat aku mulai mengenalmu dan mulai mengagumimu, kau memang lebih nyaman
berada di samping sahabatku, walaupun dalam artian belum tentu benar berita
itu.
“Mau
nambah minum lagi,” kata seseorang, sembari duduk di sampingku dan menyodorkan
air mineral di hadapanku.
Aku
mendongakkan kepala, menatapnya lekat, dan kembali dengan pikiranku yang sedang
berkecamuk.
Jam
istirahat memang hampir usai, namun banyak siswa yang masih berkeliaran. Dan
sekarang aku tengah berada di taman belakang sekolah sebagai teman
kesendirianku di saat hati dan pikiran sedang tak sinkron
“Mei,
nama yang bagus …,” dia menatapku lekat tak berkedip, mengernyitkan dahinya
sejenak, “Lelaki berlesung pipit, ah sebutan yang keren. Aku suka,” lanjutnya.
“Sembilan
puluh tujuh hari lagi, semoga aku bisa mengenalmu tak hanya sebagai adik kelas,
tapi layaknya sepupuku Kayla.”
“Ha?
Adik? Sepupu?”
Aku
terdiam sejenak membisu. Mataku beradu pandang dengan matanya. Ah, terlihat
indah binary mata itu walau di balik kacamata minusnya, dan memperlihatkan
kedua lesung pipitnya yang begitu indah.
“Kayla
mengingatkanku untuk terus tersenyum dengan kedua lesung pipitku ini, karena kau
menyukainya.” Sahutnya, lagi. Dan tersenyum memamerkan deretan gigi putihnya.
Ah,
lesung pipitnya yang begitu memukau membuatku tergoda untuk membalas
senyumannya, walaupun hatiku masih di rundung bimbang, tak mengerti.
“Ibunya
saudara dengan ibuku. Mei, Kayla sahabat yang baik, percayalah.” Dia
meyakinkanku, dan beranjak pergi meninggalkan seberkas senyuman lesung pipit
itu.
Aku
terpaku mendengar penuturannya.
Ah,
benar Kayla adalah sahabat terbaikku, dan dia tak mungkin melakukannya padaku.
“Kay,
maafkan aku.” ***