Rabu, 23 April 2014

Lelaki Berlesung Pipit Alfa Anisa




“Dia, ya senyumnya begitu indah,”
“Ha? Senyum?”
“Ya, senyum yang kucari selama ini. Senyuman seorang lelaki berlesung pipit,”
***
            Pukul 10.00 WIB                          
            Aku mengendap-endap di balik rimbunan belukar yang menghalangi pandanganku. Menghalau ilalang yang tumbuh setinggi lutut. Langkahku terhenti sejenak, menatap seorang lelaki yang tengah duduk sendiri di rerumputan dengan buku di tangannya
            Aku menghempaskan tubuhku di balik rimbunan belukar, duduk termenung, memandang lelaki itu, seperti yang sudah kulakukan sejak sepuluh hari silam.
Aku mengaguminya semenjak kutahu dia mempunyai lesung pipit di kedua pipinya. Menurutku itu unik, karena jarang sekali seorang lelaki itu berlesung pipit.
            “Dia, ya senyumnya begitu indah,” kataku bergeming lirih, menatap lelaki itu tanpa berkedip sedetikpun.
            “Ha? Senyum?”
            “Ya, senyum yang kucari selama ini. Senyuman seorang lelaki berlesung pipit.”      Aku masih menatap lekat lelaki itu, tanpa terusik suara yang menyahut secara tiba-tiba—lebih tepatnya tak sadar kalau sudah ada orang yang berada di dekatku.
Seratus hari lagi, ya seratus hari lagi aku masih bisa menatap raut mukanya yang tampak serius;  lesung pipitnya; dan senyumannya, sebelum dia bergelar alumni dari SMA ini.
Seratus hari lagi untuk bisa mengaguminya dalam diam.
 “Mei,” bahuku di tepuk pelan oleh seseorang yang berada di sampingku.
 “Kay, “ aku menoleh ke arah orang itu. Kayla—sahabatku, dia masih terpaku memandang lelaki berlesung pipit itu, dan bergantian memandangku berkali-kali, tak henti.
 “Dia…, dia lelaki berlesung pipit itu, Mei,” Kayla mengoncangkan tubuhku cepat. Menanti jawaban dari kedua bibirku. Mungkin dia tak percaya aku mengagumi seorang lelaki, karna kenyataanya memang aku selalu bersikap acuh tak acuh terhadap makhluk berjenis kaum adam.
 “Mungkin,” mataku berbinar bening beradu dengan mata biru Kayla. Lalu secercah senyuman terlukis di bibirku.
“Mei… kamu benar mengaguminya?” selidik Kayla, sambil menatapku masih tak percaya. Mata birunya menatap lelaki itu, terlihat dahinya berkerut. Entah, kalau gelagat Kayla seperti ini pasti ada sesuatu yang aku tak mengetahui tentang lelaki yang kukagumi itu.
Aku kembali jengah tingkah Kayla. Aku mengagumi lelaki berlesung pipit itu, tapi tidak untuk mengenalinya. Mengagumi dalam diam, dan mengamatinya dalam kesendirian.
“Bukankah dia …,” suara Kayla terdengar samar, dan aku tak terlalu mendengar apa maksudnya.
“Mei, sebaiknya kamu ke sana.” Katanya lagi, dan tanpa persetujuan, Kayla mendorongku keluar dari persembunyianku, dan aku berada tepat di depan lelaki itu.
***
“Mei,” Aku menyodorkan tangan tepat di depan wajahnya.
“Eh, kenapa?” katanya, terusik dan menatapku heran.
“Itu namaku,”
“Oh, oke.”
Aku menelan ludah, memandangnya yang masih berkutat dengan buku yang sedang dipegangnya.
“Mei baik-baik saja, oke,” kataku dalam hati, menyemangati diri sendiri.
“Maaf  menganggu,” ucapku lagi, lalu segera menyingkir dari hadapannya.
Aku memang pernah melakukan penolakan pada beberapa lelaki yang menyatakan perasaan cinta kepadaku. Baru kali ini aku merasakan apa itu penolakan—walaupun hanya sekedar perkenalan. Dan …, itu rasanya cukup menyakitkan.
Aku berbalik menuju tempat persembunyianku lagi. Aku cukup bahagia jika hanya mengenalnya dalam diam, tanpa pernah mengenalnya, jika perkenalanku dengannya kali ini diawali dengan cukup menyakitkan.
“Hei,” panggil lelaki itu, keras. Sontak aku kembali menoleh kepadanya.
“Aqif … Aqif Rahman, itu namaku,” katanya masih tak beranjak dari tempatnya duduk.
“Ha?”
“Iya, itu namaku. Salam kenal, mm …,” dia terlihat mengernyitkan dahi, seperti mengingat sesuatu, “Mei,” lanjutnya, mengejutkanku.
Aku hanya tersenyum kecil, menunduk malu. Penolakan perkenalan itu hanya berlaku sekejap saja, namun rasanya sungguh mengena dan menyakitkan. Namun,  sekarang sudah tergantikan dengan yang lebih baik lagi.
“Maaf ya,” katanya, menatapku lembut sambil memperlihatkan lesung pipitnya
“Eh, baiklah.” Balasku, tersenyum balik ke arahnya, dan berbalik beranjak pergi.
***
Sudah tiga hari aku mengamatinya, seperti biasa di balik rimbunan belukar yang sudah kunyatakan sebagai tempat persembunyian. Walau aku sudah mengenalnya resmi, tapi aku tak ingin mengusik ketenangannya.
Mengagumi dalam diam, aku lebih suka itu.
***
“Mei, dia begitu manis. Mungkin karena lesung pipitnya,” Kayla tiba-tiba bergeming tak jelas di sampingku.
 “Kamu juga mengagumi dirinya, Kay,” pancingku, mendelik kearahnya mungkin Kayla juga mengagumi lelaki berlesung pipit itu. Ah, ada perasaan kelu dan pilu tertancap tepat di ulu hati.
Dalam keriuhan kantin pada jam sepulang sekolah ini, agaknya suasana memang agak terganggu. Tiba-tiba Kayla menatap mataku dalam, mencari sesuatu yang tulus di balik binar mataku. Entahlah, mungkin mencari ketulusan.
“Mei, kamu mengaguminya, aku tak mungkin mengaguminya juga,” ucapnya tersenyum tulus.
“Eh,”
“Dan lelaki yang pantas di kagumi kan bukan dia aja,” katanya lagi, sambil mencubit pipiku gemas.
Ah, Kayla semoga saja kau memang benar sahabatku yang takkan mengagumi lelaki itu jua.
***
Jadwal jam istirahatku akhir-akhir ini padat. Bukan karena aktivitas sekolah, seperti kumpul organisasi atau apalah, tapi aku lebih menyukai duduk sendirian di balik semak-semak, mengamati lelaki berlesung pipit.
Belum sempat semenit aku menghempaskan tubuhku di rerumputan, seketika dadaku bergemuruh, menatap lelaki itu lagi. Mungkin penglihatanku salah.
 “Kayla,”
Aku terhenyak kaget, di sampingnya terlihat Kayla dan lelaki berlesung pipit itu saling bercengkerama mesra.
 Entah, aku memastikan kalau dulu itu bukan sahabatku yang mengatakan tak akan mengagumi lelaki berlesung pipit itu, dan bodohnya aku mempercayainya.
“Ya, benar itu Kayla.” Aku meyakinkan pandanganku.
Rambutnya yang tergerai lurus dengan suara lembutnya, diikuti derai tawa yang beruntun dari keduanya. Ah, terihat mesra sekali. Dan kupandang balik lelaki itu, terlihat rona bahagia terpancar dari raut mukanya, senyuman dan lesung pipitnya pun selalu terlihat jelas, sekaligus memandang Kayla penuh semringah.
Kamu baik-baik saja, tenangkan hatimu Mei. Dia hanya lelaki yang kau kagumi, tak lebih. Dan dia menganggapmu seorang gadis biasa yang hanya ingin sekedar berkenalan. Tenanglah, dia bukan siapa-siapa. Kayla—sahabatmu—lebih baik jika bersanding dengannya bukan kau—Mei.
Aku terisak dalam hati, mencoba melepaskan semua sendiri. Sakit, memang rasanya sakit. Ah …, entahlah, suara isak tangisku lambat laun mulai terdengar lirih, entah kenapa lambat laun dadaku nyeri. Terasa semakin tercabik sakit di ulu hati.
“Mei,” tiba-tiba suara lembut menepuk bahuku pelan. Aku mengenalnya, mungkin dia terusik oleh suara isak tangisku
“Maaf menganggu,” kataku, mendongakkan kepala. Dan memang benar itu Kayla, aku melengos pergi dari hadapannya tanpa sepatah kata apapun.
***
Aku tak mempercayai lagi yang namanya sahabat, dan aku muak degan hal itu. ternyata dia balik menikamku dari belakang, ah. Terimakasih lelaki berlesung pipit, disaat aku mulai mengenalmu dan mulai mengagumimu, kau memang lebih nyaman berada di samping sahabatku, walaupun dalam artian belum tentu benar berita itu.
“Mau nambah minum lagi,” kata seseorang, sembari duduk di sampingku dan menyodorkan air mineral di hadapanku.
Aku mendongakkan kepala, menatapnya lekat, dan kembali dengan pikiranku yang sedang berkecamuk.
Jam istirahat memang hampir usai, namun banyak siswa yang masih berkeliaran. Dan sekarang aku tengah berada di taman belakang sekolah sebagai teman kesendirianku di saat hati dan pikiran sedang tak sinkron
“Mei, nama yang bagus …,” dia menatapku lekat tak berkedip, mengernyitkan dahinya sejenak, “Lelaki berlesung pipit, ah sebutan yang keren. Aku suka,” lanjutnya.
“Sembilan puluh tujuh hari lagi, semoga aku bisa mengenalmu tak hanya sebagai adik kelas, tapi layaknya sepupuku Kayla.”
“Ha? Adik? Sepupu?”
Aku terdiam sejenak membisu. Mataku beradu pandang dengan matanya. Ah, terlihat indah binary mata itu walau di balik kacamata minusnya, dan memperlihatkan kedua lesung pipitnya yang begitu indah.
“Kayla mengingatkanku untuk terus tersenyum dengan kedua lesung pipitku ini, karena kau menyukainya.” Sahutnya, lagi. Dan tersenyum memamerkan deretan gigi putihnya.
Ah, lesung pipitnya yang begitu memukau membuatku tergoda untuk membalas senyumannya, walaupun hatiku masih di rundung bimbang, tak mengerti.
“Ibunya saudara dengan ibuku. Mei, Kayla sahabat yang baik, percayalah.” Dia meyakinkanku, dan beranjak pergi meninggalkan seberkas senyuman lesung pipit itu.
Aku terpaku mendengar penuturannya.
Ah, benar Kayla adalah sahabat terbaikku, dan dia tak mungkin melakukannya padaku.
“Kay, maafkan aku.”  ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar