“Jalan Keramat, Nomer
99?”
“Maaf, sepertinya nama
jalan itu sudah tak ada lagi,”
“Tepatnya? Maksudnya kalau sekarang berada di daerah mana?”
“Entahlah, jangan
berharap masih
bisa menemukannya, Nak.”
“Kenapa? Ada surat yang
harus saya antarkan ke sana,”
“Semoga nyawa kamu masih melekat di raga, saat telah menemukan jalan itu.”
***
Aku
hanya tersenyum kecut, menatap
raut muka bapak itu.
Terlihat misterius saat aku hanya menanyakan sebuah nama jalan. Ah,
baru kali ini dirumitkan oleh sebuah nama jalan yang sampai detik ini belum
kutemukan.
Jalan keramat, hanya
terdapat di dunia yang sesat, pikirku semrawut dalam sesaat.
Aku
melirik arloji di pergelangan tangan kanan, sudah hampir jam lima sore. Dan surat ini masih saja
berada di tangan, semenjak beberapa
jam lalu diserahkan kepadaku.
“Ya sudah pak, makasih sebelumnya. Saya
permisi dulu,” pamitku sambil menjabat tangannya erat.
Bapak itu hanya mengangguk pelan, Sorot matanya yang tajam masih mengarah
kepadaku. Aku membalikkan badan
dan melangkah pergi, berharap tak ada apapun yang terjadi
setelah ini.
“Nak,
berhati-hatilah,” suara bapak
itu samar dari kejauhan,
seperti mengingatkan akan terjadi sesuatu yang sangat serius terhadapku.
Sontak aku menoleh ke arahnya dan menatapnya sembari
tersenyum tulus. Aku tak tahu apa yang dimaksudkan bapak itu, yang jelas aku harus lebih
berhati-hati.
***
“Jalan
Keramat, No 99”
Untuk kesekian kalinya
aku masih terpaku dengan alamat yang tertera di surat itu. Aku sudah berkali-kali mengkonfirmasikan
kepada petugas pos yang lain, bahwa
alamat itu tidak
kutemukan di manapun juga.
“Mungkin
saja alamatnya memang terpencil,” sahut
petugas lain, yang mendengar
keluhanku dan mencoba menenagkan kegundahan hatiku.
Aku
masih terdiam membisu, mengamati apa kira-kira tulisan yang berada di dalamnya.
Mungkin jika alamat pengirimnya jelas akan lebih baik di kembalikan saja.
Namun, alamat pengirimnya pun juga samar—tulisannya kabur, seperti terkena percikan air hujan. Padahal itu jarang
sekali terjadi, dalam sejarah pengiriman pos Indonesia.
Tapi
entah kenapa, seperti ada bisikan halus untuk terus mengantarkan surat itu hingga
sampai di tangan
penerimanya. Walaupun banyak yang menyarankan untuk menyudahi saja pencarian alamat surat itu.
***
Sudah genap tiga hari, surat keramat yang tengah kupegang belum
sampai kepada pemiliknya.
Aku memang berniat akan mencarinya di saat menjelang senja, karena di waktu
sebelumnya harus mengantarkan puluhan surat yang alamat dan pengirimnya memang
sudah jelas.
Kuintip senja yang masih malu memancarkan jingganya, dan kembali bergegas
dalam pencarianku menemukan alamat surat keramat.
“Di ujung jalan lurus itu,”
Aku hanya mendengar penuturan wanita paruh baya yang kutemui tak jauh dari bapak yang kemarin. Dan mengangguk pelan, mungkin bapak
kemarin enggan member tahuku tentang jalan keramat, karena ada sesuatu hal yang
tersembunyi yang akupun juga tak tahu.
“Benarkah di ujung jalan ini, ah entahlah.” Bisikku dalam hati, gamang. Dan
bergegas melangkah pergi.
***
Akhirnya ...
“Apa
benar disini
adalah Jalan Keramat?” tanyaku pada sosok bocah yang tengah asyik dengan mainan
gasingnya. Sepertinya dia tak
terusik dengan kedatanganku.
Aku
berjongok di sampingnya,
mengamati gasingnya yang terus
berputar tanpa henti. Tiba-tiba
hidungku tercium bau busuk yang sangat menyengat, entah
asalnya dari mana, yang jelas saat berada di dekatnya, bau ini terasa semakin menyeruak keluar.
Aku mencoba menahan bau
busuk ini, mengalihkan
perhatiannya dengan melambaikan tangan kiriku ke depan mukanya, berharap dia
bisa menatapku sejenak dan memberi
tahu alamat surat ini.
“Hai adik,” kataku, sambil menepuk bahunya
pelan. Sontak bocah
itu menghentikan permainannya sejenak, mendongak ke arahku. Seketika mataku
beradu pandang dengan matanya yang seolah menyala tajam.
Aku
mundur seketika, saat mata bocah itu benar-benar menyiratkan kemarahan dengan
matanya yang merah menyala. Sepertinya kali ini dia benar-benar terusik akan
kedatanganku.
“Maaf
ya adik, aku mau nyari rumah nomor 99,” kataku, memberanikan diri. Namun, raut
bocah itu semakin beringas, tak
menggubris kata-kataku.
Bocah itu mulai
mendekatiku, kedua
tangannya mencoba meraih leherku, seolah mau menyekikku. Aku menutup mukaku
dengan surat yang masih kupegang erat,
mulutku tak henti berkomat-kamit, entah mantera apa yang sedang kubaca yang
jelas aku berharap bocah itu kembali dengan permainannya lagi.
Bocah
itu menatap
surat yang tengah kupegang, dan melihatnya sekilas.
“Di ujung jalan sana,” bisiknya, tiba-tiba. Lantas membiarkanku pergi, seolah tak terjadi apa-apa.
Aku memandangnya lagi,
dia kembali berjongkok dan memainkan gasingnya. Aku menghela napas lega, dan harus segera
pergi mengantarkan surat ini kepada penerimanya.
“Di ujung jalan,” kataku bergeming dan melihat sekeliling,
Sepertinya
tak ada yang berbeda di jalan ini. Entahlah, rasanya seperti kebanyakan rumah
di jalan-jalan yang lain. Hanya saja, energi saat aku melangkah melintasi perlahan,
ada sesuatu yang berbeda. Penghuni di jalan ini mungkin ada adalah makhluk
halus. Ah, aku bergidik ngeri saat membayangkannya.
Tiba-tiba semilir angin
merasuk dalam jiwaku, bukan semilir angin sore, hanya saja seperti ada bisikan ghaib yang menuntunku menuju
ke sebuah rumah di ujung jalan.
Rumah itu berlantai
dua. Catnya mulai terlihat kusam dengan perpaduan warna merah dan kuning.
Dikelilingi pagar kayu yang mengtari keseluruhan rumah. Dan tepat di depan
rumah terlihat sesosok ringkih, yang berdiri di samping sebuah kotak pos. Aku mencoba memberanikan
diri menghamprinya. Karna hanya rumah nenek itulah rumah yang berada di ujung
jalan.
“Maaf, ini jalan
keramat nomer 99 ?” tanyaku, berada tepat
di
depannya.
Dia tak bergeming sama
sekali, sepertinya sama dengan bocah yang tadi kutemui. Tak terusik oleh kedatanganku. Kutatap tubuhnya yang
ringkih, sosok nenek tua dengan
kerudung merah
yang disampirkan sekenanya,
sambil memegang tongkat di tangan kirinya. Nenek itu masih membisu, terlihat tatapannya kosong, dan wajahnya terlihat pucat pasi,
seperti mayat hidup.
“Ma … af nek, saya cuma mau mengantarkan surat ini,” kataku lagi memberanikan diri sembari menyerahkan amplop yang sedari
tadi kugenggam erat.
Mata tuanya mendelik ke
arahku, terlihat hanya mata putihnya menatapku
tajam. Dia melirik sekilas amplop yang tengah kubawa, seketika langsung direbutnya dari
genggamanku.
“Suamiku,” bisiknya,
lirih dan menciumi amplop itu tiada jemu.
Aku terhenyak kaget,
memandangnya masih tak percaya. Mungkinkah nenek ini menantikan surat yang
tengah kubawa hingga umurnya telah senja. Ah, entahlah.
“Maaf nek,, tolong
tanda tangan disini,” kataku,
bergegas menyodorkan selembar kertas sebagai bukti tanda
terima, lantas segera pergi.
Lagi, dia menatapku tajam.
“Masuklah,” suaranya terdengar parau, dan menyuruhku untuk mengikuti
langkahnya.
Dia beranjak dari
tempatnya berdiri, dan aku
masih terdiam membisu, menatap kepergiannya yang seolah seperti ada aura
menyeramkan di daerah sini.
“Kalau kau tak masuk,
kau akan mati lebih cepat!” tegasnya, mengagetkanku.
***
“Maukah kau menjadi
pengganti suamiku?” ucap Nenek
enteng, dan tak henti membelai surat yang tadi kubawa.
“ Eh?”
“Dan kau …, mau tak mau
harus mau, karena inilah janjiku pada suamiku dulu.” Dia menutup ceritanya dan mengalihkan sorot matanya yang tajam ke
arahku.
“Kenapa saya?”
“Karna kau … kau yang
mengantarkan surat ini kepadaku.”
Aku menatap mata nenek itu kuat, benarkah nenek itu
akan melakukan hal itu padaku. Rasanya tak mungkin. Dan jika memang nenek ini serius, apapun yang terjadi
aku harus kabur dar sini sekarang.
“Jangan harap kau bisa
kabur dariku, karena aku
sudah melingkari rumahku dengan lingkaran kematian. Silahkan saja kalau mau
kabur, percuma. Pastinya kau akan mati dengan segera.”
‘Glek’
Aku
tak bisa berkutik lagi, aku mengingat perkataan nenek ini sebelum aku masuk ke
rumah ini ‘Kalau kau tak masuk, kau akan mati lebih cepat’. Ah, shitt rasanya sama saja, aku masuk pun
tak akan mati, tapi harus menikah dengan nenek ini sebagai bukti rasa terima kasihnya
padaku.
“Dulu …, suamiku
dibantai oleh para komunis,”
suara parau nenek itu lirih memula ceritanya.
“Malam itu malam jum’at
kliwon dan itulah malam pengantin baru kami berdua. Entah kenapa, saat masih bercinta dalam kesyahduan sunah
pengantin muda, tak terduga para komunis datang, menebas leher suamiku tanpa
ampun, dan membawanya pergi, entah kemana?
“Dan sebelum tiada, dia berjanji akan
mengirimkan surat dari surga.
Dan aku menantinya hingga aku … aku tlah senja. Saksinya jalan ini, ya jalan ini.” Katanya, mengakhiri kronologi kematian suaminya.
Tiba-tiba aku mendengar suara gamelan bersahutan ditabuh orang.
Tubuhku meremang, tengkukku mulai merinding ngeri. Cerita lama tentang suara
gamelan yang misterius dari para orang terdahulu kembali terngiang dalam
benakku.
Sayup-sayup suara
gamelan itu kedengaran mulai mendekat. Makin lama bunyi gamelan itu makn jelas,
suara ibu sinden terdengar merdu sekali.
“Penyambutan suami
baruku,” ucap nenek itu, tatapannya kosong.
Aku menatap wajahnya
yang terlihat pucat. Bau anyir darah menyerbak, bergumul dalam ruang tamu.
“Sepertinya saya tak akan mau menjadi suami
Anda!” bisikku lirih, menatap wajah nenek itu tajam.
Brakkk …!
Pintu berdebam keras.
Hening. Senyap. Lambat laun terdengar suara gending yang semakin mendekat. Dan
terlhat segerombolan makhluk menyeramkan mendekatiku dengan bunyi gamelan yang
terus bersahutan.
“Kau akan menjadi milikku malam ini.”
Dia mulai mendekatiku
perlahan-lahan.
Srett …!
Aaaa …. Aku meronta keras, tapi rasanya cengkeraman tangannya lebih
kuat.
Tubuhku seakan diseret
seiring datangnya
suara gending itu, dan lenyap dalam keheningan malam.***
Biodata:
Nama lengkap: Anisa Alfi Nur Fadilah
Tempat Tanggal Lahir: Blitar, 28 Maret 1995
Alamat FB: Alfa Anisa
Biodata narasi:
Anisa Alfi Nur Fadilah
adalah seorang mahasiswa semester dua di salah satu universitas swasta di Kota
Bitar. Mengambil jurusan ilmu komunikasi yang bergerak di bidang jurnalistik
dan lain-lain, berharap kelak dapat meningkatkan jiwa literasi dalam hidupnya.
Pernah aktif dalam bidang jurnalistik semasa SMA, membuat dirinya semakin yakin
bahwa wartawan adalah cita-citanya saat ini, karena masih berkecimpung dalam
dunia literasi yang tak lepas dari kehidupannya sehari-hari. Karyanya masih
sebatas di bukukan di beberapa antologi, dan di muat di tabloid lokal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar