Rabu, 23 April 2014

Surat Keramat @Alfa Anisa




“Jalan Keramat, Nomer 99?”
“Maaf, sepertinya nama jalan itu sudah tak ada lagi,
“Tepatnya? Maksudnya kalau sekarang berada di daerah mana?
“Entahlah, jangan berharap masih bisa menemukannya, Nak.
“Kenapa? Ada surat yang harus saya antarkan ke sana,
“Semoga nyawa kamu masih melekat di raga, saat telah menemukan jalan itu.”
***
            Aku hanya tersenyum kecut, menatap raut muka bapak itu. Terlihat misterius saat aku hanya menanyakan sebuah nama jalan. Ah, baru kali ini dirumitkan oleh sebuah nama jalan yang sampai detik ini belum kutemukan.
Jalan keramat, hanya terdapat di dunia yang sesat, pikirku semrawut dalam sesaat.
            Aku melirik arloji di pergelangan tangan kanan, sudah hampir jam lima sore. Dan surat ini masih saja berada di tangan, semenjak beberapa jam lalu diserahkan kepadaku.
            Ya sudah pak, makasih sebelumnya. Saya permisi dulu,” pamitku sambil menjabat tangannya erat.
            Bapak itu hanya mengangguk pelan, Sorot matanya yang tajam masih mengarah kepadaku. Aku membalikkan badan dan melangkah pergi, berharap tak ada apapun yang terjadi setelah ini.
            “Nak, berhati-hatilah,” suara bapak itu samar dari kejauhan, seperti mengingatkan akan terjadi sesuatu yang sangat serius terhadapku.
Sontak aku menoleh ke arahnya dan menatapnya sembari tersenyum tulus. Aku tak tahu apa yang dimaksudkan bapak itu, yang jelas aku harus lebih berhati-hati.
***
 Jalan Keramat, No 99
Untuk kesekian kalinya aku masih terpaku dengan alamat yang tertera di surat itu. Aku sudah berkali-kali mengkonfirmasikan kepada petugas pos yang lain, bahwa alamat itu tidak kutemukan di manapun juga.
            “Mungkin saja alamatnya memang terpencil,” sahut petugas lain, yang mendengar keluhanku dan mencoba menenagkan kegundahan hatiku.
            Aku masih terdiam membisu, mengamati apa kira-kira tulisan yang berada di dalamnya. Mungkin jika alamat pengirimnya jelas akan lebih baik di kembalikan saja. Namun, alamat pengirimnya pun juga samar—tulisannya kabur, seperti terkena percikan air hujan. Padahal itu jarang sekali terjadi, dalam sejarah pengiriman pos Indonesia.
            Tapi entah kenapa, seperti ada bisikan halus untuk terus mengantarkan surat itu hingga sampai di tangan penerimanya. Walaupun banyak yang menyarankan untuk menyudahi saja pencarian alamat surat itu.
***
Sudah genap tiga hari, surat keramat yang tengah kupegang belum sampai kepada pemiliknya. Aku memang berniat akan mencarinya di saat menjelang senja, karena di waktu sebelumnya harus mengantarkan puluhan surat yang alamat dan pengirimnya memang sudah jelas.
Kuintip senja yang masih malu memancarkan jingganya, dan kembali bergegas dalam pencarianku menemukan alamat surat keramat.
“Di ujung jalan lurus itu,”
Aku hanya mendengar penuturan wanita paruh baya yang kutemui tak jauh dari bapak yang kemarin. Dan mengangguk pelan, mungkin bapak kemarin enggan member tahuku tentang jalan keramat, karena ada sesuatu hal yang tersembunyi yang akupun juga tak tahu.
“Benarkah di ujung jalan ini, ah entahlah.” Bisikku dalam hati, gamang. Dan bergegas melangkah pergi.
***
Akhirnya ...
            “Apa benar disini adalah Jalan Keramat?” tanyaku pada sosok bocah yang tengah asyik dengan mainan gasingnya. Sepertinya dia tak terusik dengan kedatanganku.
            Aku berjongok di sampingnya, mengamati gasingnya yang terus berputar tanpa henti. Tiba-tiba hidungku tercium bau busuk yang sangat menyengat, entah asalnya dari mana, yang jelas saat berada di dekatnya, bau ini terasa semakin menyeruak keluar.
Aku mencoba menahan bau busuk ini, mengalihkan perhatiannya dengan melambaikan tangan kiriku ke depan mukanya, berharap dia bisa menatapku sejenak dan memberi tahu alamat surat ini.
            Hai adik,” kataku, sambil menepuk bahunya pelan. Sontak bocah itu menghentikan permainannya sejenak, mendongak ke arahku. Seketika mataku beradu pandang dengan matanya yang seolah menyala tajam.
            Aku mundur seketika, saat mata bocah itu benar-benar menyiratkan kemarahan dengan matanya yang merah menyala. Sepertinya kali ini dia benar-benar terusik akan kedatanganku.
            “Maaf ya adik, aku mau nyari rumah nomor 99,” kataku, memberanikan diri. Namun, raut bocah itu semakin beringas, tak menggubris kata-kataku.
Bocah itu mulai mendekatiku, kedua tangannya mencoba meraih leherku, seolah mau menyekikku. Aku menutup mukaku dengan surat yang masih kupegang erat, mulutku tak henti berkomat-kamit, entah mantera apa yang sedang kubaca yang jelas aku berharap bocah itu kembali dengan permainannya lagi.
            Bocah itu menatap surat yang tengah kupegang, dan melihatnya sekilas.
            Di ujung jalan sana,” bisiknya, tiba-tiba. Lantas membiarkanku pergi, seolah tak terjadi apa-apa.
Aku memandangnya lagi, dia kembali berjongkok dan memainkan gasingnya. Aku menghela napas lega, dan harus segera pergi mengantarkan surat ini kepada penerimanya.
Di ujung jalan,” kataku bergeming dan melihat sekeliling,
 Sepertinya tak ada yang berbeda di jalan ini. Entahlah, rasanya seperti kebanyakan rumah di jalan-jalan yang lain. Hanya saja, energi saat aku melangkah melintasi perlahan, ada sesuatu yang berbeda. Penghuni di jalan ini mungkin ada adalah makhluk halus. Ah, aku bergidik ngeri saat membayangkannya.
Tiba-tiba semilir angin merasuk dalam jiwaku, bukan semilir angin sore, hanya saja seperti ada bisikan ghaib yang menuntunku menuju ke sebuah rumah di ujung jalan.
Rumah itu berlantai dua. Catnya mulai terlihat kusam dengan perpaduan warna merah dan kuning. Dikelilingi pagar kayu yang mengtari keseluruhan rumah. Dan tepat di depan rumah terlihat sesosok ringkih, yang berdiri di samping sebuah kotak pos. Aku mencoba memberanikan diri menghamprinya. Karna hanya rumah nenek itulah rumah yang berada di ujung jalan.
“Maaf, ini jalan keramat nomer 99 ?” tanyaku, berada tepat di depannya.
Dia tak bergeming sama sekali, sepertinya sama dengan bocah yang tadi kutemui. Tak terusik oleh kedatanganku. Kutatap tubuhnya yang ringkih, sosok nenek tua dengan kerudung merah yang disampirkan sekenanya, sambil memegang tongkat di tangan kirinya. Nenek itu masih membisu, terlihat tatapannya kosong, dan wajahnya terlihat pucat pasi, seperti mayat hidup.
“Ma … af nek, saya cuma mau mengantarkan surat ini,” kataku lagi memberanikan diri sembari menyerahkan amplop yang sedari tadi kugenggam erat.
Mata tuanya mendelik ke arahku, terlihat hanya mata putihnya menatapku tajam. Dia melirik sekilas amplop yang tengah kubawa, seketika langsung direbutnya dari genggamanku.
“Suamiku,” bisiknya, lirih dan menciumi amplop itu tiada jemu.
Aku terhenyak kaget, memandangnya masih tak percaya. Mungkinkah nenek ini menantikan surat yang tengah kubawa hingga umurnya telah senja. Ah, entahlah.
“Maaf nek,, tolong tanda tangan disini,” kataku, bergegas menyodorkan selembar kertas sebagai bukti tanda terima, lantas segera pergi.
Lagi, dia menatapku tajam.
“Masuklah,” suaranya terdengar parau, dan menyuruhku untuk mengikuti langkahnya.
Dia beranjak dari tempatnya berdiri, dan aku masih terdiam membisu, menatap kepergiannya yang seolah seperti ada aura menyeramkan di daerah sini.
“Kalau kau tak masuk, kau akan mati lebih cepat!” tegasnya, mengagetkanku.
***
“Maukah kau menjadi pengganti suamiku?” ucap Nenek enteng, dan tak henti membelai surat yang tadi kubawa.
“ Eh?”
“Dan kau …, mau tak mau harus mau, karena inilah janjiku pada suamiku dulu.” Dia menutup ceritanya dan mengalihkan sorot matanya yang tajam ke arahku.
“Kenapa saya?”
“Karna kau … kau yang mengantarkan surat ini kepadaku.”
Aku menatap mata nenek itu kuat, benarkah nenek itu akan melakukan hal itu padaku. Rasanya tak mungkin. Dan jika memang nenek ini serius, apapun yang terjadi aku harus kabur dar sini sekarang.
“Jangan harap kau bisa kabur dariku, karena aku sudah melingkari rumahku dengan lingkaran kematian. Silahkan saja kalau mau kabur, percuma. Pastinya kau akan mati dengan segera.
‘Glek’
Aku tak bisa berkutik lagi, aku mengingat perkataan nenek ini sebelum aku masuk ke rumah ini ‘Kalau kau tak masuk, kau akan mati lebih cepat’. Ah, shitt rasanya sama saja, aku masuk pun tak akan mati, tapi harus menikah dengan nenek ini sebagai bukti rasa terima kasihnya padaku.
“Dulu …, suamiku dibantai oleh para komunis,” suara parau nenek itu lirih memula ceritanya.
“Malam itu malam jum’at kliwon dan itulah malam pengantin baru kami berdua. Entah kenapa, saat masih bercinta dalam kesyahduan sunah pengantin muda, tak terduga para komunis datang, menebas leher suamiku tanpa ampun, dan membawanya pergi, entah kemana?
Dan sebelum tiada, dia berjanji akan mengirimkan surat dari surga. Dan aku menantinya hingga aku … aku tlah senja. Saksinya jalan ini, ya jalan ini.” Katanya, mengakhiri kronologi kematian suaminya.
Tiba-tiba aku mendengar suara gamelan bersahutan ditabuh orang. Tubuhku meremang, tengkukku mulai merinding ngeri. Cerita lama tentang suara gamelan yang misterius dari para orang terdahulu kembali terngiang dalam benakku.
Sayup-sayup suara gamelan itu kedengaran mulai mendekat. Makin lama bunyi gamelan itu makn jelas, suara ibu sinden terdengar merdu sekali.
“Penyambutan suami baruku,” ucap nenek itu, tatapannya kosong.
Aku menatap wajahnya yang terlihat pucat. Bau anyir darah menyerbak, bergumul dalam ruang tamu.
“Sepertinya saya tak akan mau menjadi suami Anda!” bisikku lirih, menatap wajah nenek itu tajam.
Brakkk …!
Pintu berdebam keras. Hening. Senyap. Lambat laun terdengar suara gending yang semakin mendekat. Dan terlhat segerombolan makhluk menyeramkan mendekatiku dengan bunyi gamelan yang terus bersahutan.
“Kau akan  menjadi milikku malam ini.”
Dia mulai mendekatiku perlahan-lahan.
Srett …!
Aaaa …. Aku meronta keras, tapi rasanya cengkeraman tangannya lebih kuat.
Tubuhku seakan diseret seiring datangnya suara gending itu, dan lenyap dalam keheningan malam.***














Biodata:
Nama lengkap: Anisa Alfi Nur Fadilah
Tempat Tanggal Lahir: Blitar, 28 Maret 1995
Alamat FB: Alfa Anisa
Alamat email: anisaalfinurfadila@yahoo.co.id


Biodata narasi:
Anisa Alfi Nur Fadilah adalah seorang mahasiswa semester dua di salah satu universitas swasta di Kota Bitar. Mengambil jurusan ilmu komunikasi yang bergerak di bidang jurnalistik dan lain-lain, berharap kelak dapat meningkatkan jiwa literasi dalam hidupnya. Pernah aktif dalam bidang jurnalistik semasa SMA, membuat dirinya semakin yakin bahwa wartawan adalah cita-citanya saat ini, karena masih berkecimpung dalam dunia literasi yang tak lepas dari kehidupannya sehari-hari. Karyanya masih sebatas di bukukan di beberapa antologi, dan di muat di tabloid lokal.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar